Selamat Hari Pahlawan ! Sudah telat beberapa hari
tak apa kan?
10 November kemarin kita baru saja
memperingati Hari Pahlawan Nasional. Nah, berbicara mengenai pahlawan, sebenarnya
siapakah dia? Orang yang gugur di medan perang kah? Orang yang angkat senjata
mengusir penjajah kah? Yang jelas iya, definisi itupun tidak salah. Sebab
setelah menilik sejarah, hari pahlawan muncul pertama kali setelah terjadinya
perang melawan sekutu di Surabaya. Perang
yang terjadi selama sebulan itu pun turut menggugurkan salah satu tokoh besar
kita yaitu Bung Tomo.
Peristiwa ini awalnya dipicu oleh adanya
pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Kemudian pasukan Inggris
menyebarkan pamplet yang berisikan ancaman kepada rakyat Indonesia untuk
menyerahkan diri beserta senjata mereka. Ancaman ini tidak main-main, karena ternyata
mereka benar benar menyiapkan perang dengan berbagai alat canggih seperti tank,
granat, dan pesawat tempur. Menanggapi hal tersebut, dalam pidatonya yang
mengatasnamakan rakyat, Bung Tomo memberikan jawaban atas ancaman itu dan mengumandangkan
slogan MERDEKA atau MATI .Dalam hal ini sontak membangkitkan semangat
jihad bagi rakyat Surabaya. Nah, sebagai
penghargaan atas gugurnya beribu-ribu pahlawan di kala itu, maka ditetapkanlah tanggal
10 November sebagai Hari Pahlawan.
Tapi kembali ke masa sekarang dimana
Indonesia sudah merdeka secara fisik, dalam artian bebas penjajah, tentu kata
pahlawan tidak dapat diartikan sesempit itu. Kalau menurut hemat saya, pahlawan
adalah orang yang berbuat sesuatu secara tulus untuk orang lain. Jadi bukan
lagi diartikan sebagai orang yang memanggul senjata dan melawan agresor, tetapi
lebih kearah jasanya yang menciptakan manfaat bagi sesamanya.
Kalau sudah begini, kita sudah bisa dengan
mudah melabelkan kata pahlawan kepada siapa saja yang kita mau. Sebagai
contohnya sosok ayah. “Sebagian” dari kita sepakat bahwa ayah merupakan
pahlawan bagi keluarganya. Terlepas dari memenuhi kebutuhan adalah sebuah
kewajiban, sosoknya yang mengayomi menjadikan ayah sebagai salah satu hero di
hati anak-anaknya. Mengapa saya sebut sebagian, karena definisi yang saya
sampaikan ini tentu relatif. Dalam berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang dilakukan oleh seorang ayah, mungkin cukup sulit menjadikan atau menganggap
ayah sebagai pahlawan keluarga.
Lalu bagaimana dengan sosok pahlawan
tanpa tanda jasa seperti yang kita dengar selama ini? Apakah gelar tersebut
hanya terbatas pada seorang guru? Dan masih adakah sosok guru seperti yang
dimaksud? Dalam hal ini saya ingin berbagi opini tentang apa yang saya dapat
selama ini.
Arti gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang
diidentikkan dengan guru, nampaknya perlu ditinjau ulang. Bukan apa-apa, hanya
saja gelar ini kerapkali disalahgunakan. Masih banyak kita temui di Negara kita,
khususnya daerah terpencil di kawasan yang belum terjamah pembangunan, para
pengajar yang hanya dibayar upah seadanya untuk perjuangannya memberantas buta
huruf. Konteksnya untuk saat ini, seharusnya bukan hanya gelar saja yang
diberikan, namun lebih ke penghargaan atas jasa dan pengabdiannya yang turut
serta dengan membantu terselenggaranya pembangunan dibidang pendidikan. Sungguh
ironis bila guru yang merupakan profesi mulia hanya dianugerahi gelar pahlawan
tanpa tanda jasa padahal merekalah yang mengantarkan ribuan murid untuk
berjuang meraih kesuksesannya. Gelar yang lebih identik kepada kearah
pengorbanan tanpa pamrih dibanding pujian tulus untuk sebuah pengorbanan.
Terlepas dari berbagai kritik tentang
guru, dalam tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa semua orang sebenarnya bisa
menjadi pahlawan. Bagi negara, lingkungan, maupun keluarga. Khususnya bagi
generasi muda yang merupakan ujung tombak bangsa, teruslah berkarya dan memberi
manfaat bagi orang lain. Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan
mulai dari SEKARANG.