Rabu, 19 November 2014

Tentang Pahlawan

Selamat Hari Pahlawan ! Sudah telat beberapa hari tak apa kan?
10 November kemarin kita baru saja memperingati Hari Pahlawan Nasional. Nah, berbicara mengenai pahlawan, sebenarnya siapakah dia? Orang yang gugur di medan perang kah? Orang yang angkat senjata mengusir penjajah kah? Yang jelas iya, definisi itupun tidak salah. Sebab setelah menilik sejarah, hari pahlawan muncul pertama kali setelah terjadinya perang melawan sekutu di Surabaya.  Perang yang terjadi selama sebulan itu pun turut menggugurkan salah satu tokoh besar kita yaitu Bung Tomo.
Peristiwa ini awalnya dipicu oleh adanya pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Kemudian pasukan Inggris menyebarkan pamplet yang berisikan ancaman kepada rakyat Indonesia untuk menyerahkan diri beserta senjata mereka. Ancaman ini tidak main-main, karena ternyata mereka benar benar menyiapkan perang dengan berbagai alat canggih seperti tank, granat, dan pesawat tempur. Menanggapi hal tersebut, dalam pidatonya yang mengatasnamakan rakyat, Bung Tomo memberikan jawaban atas ancaman itu dan mengumandangkan slogan MERDEKA atau MATI .Dalam hal ini sontak membangkitkan semangat jihad  bagi rakyat Surabaya. Nah, sebagai penghargaan atas gugurnya beribu-ribu pahlawan di kala itu, maka ditetapkanlah tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Tapi kembali ke masa sekarang dimana Indonesia sudah merdeka secara fisik, dalam artian bebas penjajah, tentu kata pahlawan tidak dapat diartikan sesempit itu. Kalau menurut hemat saya, pahlawan adalah orang yang berbuat sesuatu secara tulus untuk orang lain. Jadi bukan lagi diartikan sebagai orang yang memanggul senjata dan melawan agresor, tetapi lebih kearah jasanya yang menciptakan manfaat bagi sesamanya.
Kalau sudah begini, kita sudah bisa dengan mudah melabelkan kata pahlawan kepada siapa saja yang kita mau. Sebagai contohnya sosok ayah. “Sebagian” dari kita sepakat bahwa ayah merupakan pahlawan bagi keluarganya. Terlepas dari memenuhi kebutuhan adalah sebuah kewajiban, sosoknya yang mengayomi menjadikan ayah sebagai salah satu hero di hati anak-anaknya. Mengapa saya sebut sebagian, karena definisi yang saya sampaikan ini tentu relatif. Dalam berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh seorang ayah, mungkin cukup sulit menjadikan atau menganggap ayah sebagai pahlawan keluarga.
Lalu bagaimana dengan sosok pahlawan tanpa tanda jasa seperti yang kita dengar selama ini? Apakah gelar tersebut hanya terbatas pada seorang guru? Dan masih adakah sosok guru seperti yang dimaksud? Dalam hal ini saya ingin berbagi opini tentang apa yang saya dapat selama ini.
Arti gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang diidentikkan dengan guru, nampaknya perlu ditinjau ulang. Bukan apa-apa, hanya saja gelar ini kerapkali disalahgunakan. Masih banyak kita temui di Negara kita, khususnya daerah terpencil di kawasan yang belum terjamah pembangunan, para pengajar yang hanya dibayar upah seadanya untuk perjuangannya memberantas buta huruf. Konteksnya untuk saat ini, seharusnya bukan hanya gelar saja yang diberikan, namun lebih ke penghargaan atas jasa dan pengabdiannya yang turut serta dengan membantu terselenggaranya pembangunan dibidang pendidikan. Sungguh ironis bila guru yang merupakan profesi mulia hanya dianugerahi gelar pahlawan tanpa tanda jasa padahal merekalah yang mengantarkan ribuan murid untuk berjuang meraih kesuksesannya. Gelar yang lebih identik kepada kearah pengorbanan tanpa pamrih dibanding pujian tulus untuk sebuah pengorbanan.

Terlepas dari berbagai kritik tentang guru, dalam tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa semua orang sebenarnya bisa menjadi pahlawan. Bagi negara, lingkungan, maupun keluarga. Khususnya bagi generasi muda yang merupakan ujung tombak bangsa, teruslah berkarya dan memberi manfaat bagi orang lain. Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari SEKARANG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar